Beranda | Artikel
Syirik Politik ?!
Selasa, 8 Agustus 2006

SYIRIK POLITIK ?!

Oleh
Syaikh Abdullah bin Sholeh Al-Ubeilan

Anda mungkin sering menjumpai dikalangan dai-dai harokah orang-orang yang mengatakan : Sesungguhnya tauhid itu adalah tauhid hakimiyah yaitu mewujudkan syariat Islam dalam hudud (hukum-hukum yang berkaitan dengan potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshon dan sebagainya), muamalah, perjanjian dan lain-lain !!

Syariat dan politik menurut mereka bagaikan dua sisi mata uang. Syirik menurut mereka adalah syirik politik. Tidak diragukan lagi, ini merupakan penyelewengan akan makna tauhid yang diperintahkan Allah kepada hamba-hambaNya, serta penyelewengan akan makna syirik yang Allah telah melarang mereka darinya.

Maka inilah sebagian dari penjelasan yang merupakan bentuk pelurusan akan apa yang mereka (para dai harokah) ucapkan diatas.

1. Sesungguhnya metode dakwah itu tetap dan tidak boleh berubah. Dakwah itu adalah ibadah dan ibadah kapan pun juga haruslah berdasarkan syariat Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Sunnah Khulafa Rasyidin Radhiyallahu ‘anhum

2. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengkisahkan kepada kita sebagian kisah-kisah para Rasul –sholawatullahi ‘alaihi wa salaamuhu ‘alaihin- dari Nuh hingga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada sedikitpun perubahan dalam pondasi dakwah mereka meski pun adanya perbedaan tempat, waktu dan peradaban. Tidak pula terjadi perubahan pada memulai dakwah mereka (yaitu dakwah kepada tauhid ibadah, -pent)

3. Sesungguhnya semua Nabi dan Rasul memulai dakwah mereka dengan seruan agar manusia mengesakan Allah dalam beribadah dan meniadakan (segala bentuk kesyirikan). Dan ini makna kalimat Laa ilaaha illallahu (Tiada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah).

Allah Ta’ala berfirman.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” [al-Anbiya/21 : 25]

Dan Allah juga menyebutkan hal ini secara terperinci pada kisah Nuh, Hud, Sholeh, Syu’aib. Mereka semuanya menyeru kepada dakwah tauhid ini.

وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata : ‘Hai kaumku, sembahlah Allah (saja) tidak ada bagi kalian sesembahan selainNya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya” [al-A’raaf/7 : 65]

Orang-orang musyrikin memahami hal diatas dengan tauhid ibadah. Allah juga berfirman tentang Aad.

اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ

“Sembahlah Allah (saja) tidak ada bagi kalian sesembahan selainNya” [al-A’raaf/7 : 65]

Orang-orang kafir Mekkah mengatakan :

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [Shaad/38 : 5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) adalah syari’atNya bagi umat ini. Dan inilah yang Allah syari’atkan kepada Nuh, Muhammad, Ibrahim, Musa dan Isa –Sholawatullahi wa salaamuhu ‘alaihi ajma’iin-.

Allah Ta’ala berfirman.

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkannlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” [asy-Syura/42 : 13]

Dan Allah juga berfirman tentang kesatuan dakwah para Rasul kepada Tauhid ibadah.

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min) : “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya” [al-Baqarah/2 : 136]

4. Sesungguhnya dakwah para Nabi itu bersepakat dalam maslah tauhid tapi berbeda dalam syari’at. Allah Ta’ala berfirman.

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang” [al-Ma’idah/5 : 48]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Kami para Nabi memiliki syari’at yang berbeda tapi aqidah/tauhid kami satu” [Hadits Riwayat Bukhari]

Syari’at mereka berbeda. Dari sini jelas tidak benar jika tauhid dibawa kepada arti Tauhid Hakimiyah.

5. Allah Ta’ala adalah pencipta manusia. Dia Maha Mengetahui keadaan mereka dan sekaligus hal-hal yang bisa bermanfaat bagi mereka dalam segala hal keadaan. Dan Dialah yang memilih metode (dakwah kepada tauhid uluhiyyah[1] bukan hakimiyah,-pent) bagi para Rasul-RasulNya. Maka tidak boleh bagi seorangpun untuk merubah metode yang telah Allah pilih/tentukan sendiri bagiNya dan bagi hamba-hambaNya untuk hidayah dan kebaikan mereka sandiri.

6. Tidak boleh bagi kita untuk keluar dari jalan Allah dan jalan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta jalan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dalam berdakwah dengan alasan, keadaan sudah berubah atau manusia bosan dengan dakwah tauhid (uluhiyah) atau karena kita sedang menghadapi masalah modern yang megharuskan merubah haluan atau karena sudah tidak ada lagi syirik (uluhiyah) pada zaman sekarang.

Alasan-alasan seperti ini termasuk penyelisihan terhadap Allah dan RasulNya, meskipun yang mengucapkannya berniat baik. Dan hal tersebut juga termasuk penyimpangan dari jalannya kaum muslimin. Perbedaan antara Nuh ‘Alaihi Sallam dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau Rasul-Rasul yang lain tidak merubah metode dakwah mereka (dalam memprioritaskan dakwah kepada tuhid uluhiyah,-pent)

Alasan-alasan merubah haluan, karena menghadapi masalah modern di zaman ini sangatlah jelas kebatilannya. Sebab perkara yang paling penting pada saat ini (dan kapanpun juga) adalah menyerahkan ibadah (hanya kepada Allah saja) dan mempersiapkan diri dari satu hal yang pasti akan datang yaitu kematian serta pertanyaan di alam kubur, pembalasan, kebangkitan, dan penghisaban/ perhitungan.

7. Tidaklah layak bagi yang menempatkan dirinya sebagai da’i di jalan Allah untuk dia mengira bahwa kaum muslimin tidak butuh lagi dakwah kepada tauhid uluhiyah serta peringatan dari kesyirikan (dalam ibadah), karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama hidupnya mulai dari diangkatnya beliau sebagai Nabi sampai meninggalnya senantiasa berdakwah kepada tauhid uluhiyah. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.

“(Laknat Allah bagi orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai masjid) beliau melarang dari apa yang mereka perbuat” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Ini adalah wasiat terakhir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya, para khulafa beliau dan para sahabat. Dan mereka (para sahabat) adalah suri teladan kaum muslimin sampai hari kiamat kelak.

8. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk meremehkan kesyirikan yang telah menyebar luas dikalangan kaum muslimin dengan alasan : niat mereka kan baik atau mereka kan juga ingin mendekatkan diri kepada Allah atau dengan alasan kebodohan, karena Allah Ta’ala telah mencela orang-orang musyrikin dahulu dengan ketiga alasan di atas. Allah berfirman.

فَرِيقًا هَدَىٰ وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلَالَةُ ۗ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

“Sebahagian diberiNya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk” [al-A’raaf/7 : 30]

Dan Allah juga berfirman.

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-sedekatnya” [Az-Zumar/39 : 3]

Dan Allah berfirman.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya ? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” [Al-Kahfi/18 : 103-104]

9. Wajib bagi kita semua untuk meyakini bahwa kesyirikan masih terus menghantui dan menyelinap dikehidupan dan ibadah kaum muslimin pada zaman modern ini. Kebanyakan kaum muslimin pada saat ini sebagai pendukung kesyirikan atau diam dari mengingkarinya. Dan kebanyakan mereka juga dari kalangan para dai, khotib bahkan para cendekiawan muslim. Mayoritas mereka berada diantara kebodohan akan hakekat tauhid dan takut popularitas atau kedudukan mereka pudar di tengah pengikutnya, sebab yang mayoritas sekarang ini adalah para pelaku bid’ah.

Penyembahan terhadap berhala telah kembali lagi ke negeri kaum muslimin dengan nama pendekatan diri kepada Allah (tawasul ,-pent) atau cinta kepada Allah dan para Nabi serta cinta orang-orang sholeh. Dan syetan mengelabui manusia dalam hal ini dengan tidak menamakannya berhala atau tuhan, tapi dinamakan tempat-tempat keramat/barokah (wisata religius, -pent) yang merupakan tempat diperolehnya kekhusyukan serta merendahkan diri kepada Allah lebih dari masjid-masjid Allah. (kata mereka, -pent).

Diantara kaum muslimin yang hidup di negeri Islam ada yang tawaf di kuburan, menyembelih untuk kuburan atau untuk jin (sebagai sesajian) rumah kosong atau yang baru ditempati atau untuk mobil baru agar tidak terjadi kecelakaan (kata mereka). Ada juga diantara mereka yang meletakkan (kue/bubur) di pinggir pintu pada malam pengantin dan gambar tangan serta mata di belakang mobil guna menangkal bala’ dan hasad. Ada pula yang menyembelih tanpa mengucapkan bismillah agar bayinya bisa hidup. Dan juga ada yang mendatangi peramal, bertanya dan membenarkan ramalannya. Hal semacam ini banyak terjadi di tengah kaum muslimin –Laa haula wala quwwata illa billahi-. Apakah dengan pengakuan kita sebagai seorang muslim cukup untuk kita tidak terjerumus kedalam kesyirikan dan dampak negatifnya meskipun kesyirikan telah mendarah daging dalam hati, masjid-masjid serta rumah-rumah kita ? Apakah keimanan kita hanya sekedar angan-angan dan pengakuan belaka ?

10. Coba kita lihat dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Nashara yang kebanyakan mereka berada di bawah kekuasaan negara Romawi yang menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai hukum mereka yang menyelisihi hukum Allah! Kebanyakan pembicaraan Al-Qur’an kepada mereka tentang aqidah mereka terhadap Isa dan tidak berbicara kepada mereka (pertama kali) tentang syirik pemerintahan dan politik. Padahal syi’ar mereka adalah (berikan hak Allah untuk Allah dan hak kaisar untuk kaisar) yang merupakan semboyan sekulerisme.

11. Sesungguhnya kalau kita mau melihat sejarah dakwah para salaf (sahabat) kita akan mendapatkan mereka amat berantusias sekali dalam menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah (dalam uluhiyah) dan memperioritaskannya dari dakwah lainnya.

Siapakah yang menanyakan bahwa menyatukan manusia tanpa melihat aqidah termasuk dakwah Islamiyah ? Demi Allah, tidak lain ini hanyalah ucapan kelompok sekuler. Jika bukan mereka, maka hendaklah umat Islam bertakwa kepada Allah (berhati-hati) untuk tidak terjerumus ke dalam hal ini dan jangan sampai hal tersebut menjauhkan mereka dari agama Islam, dari jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, hanya karena ingin meraih (kursi) dalam politik.

12. Diantara sebab-sebab mengakarnya keyakinan yang rusak ini di negeri Islam sejak berabad-abad lamanya adalah kebodohan akan makna dan maksud dari kalimat Laa Ilaaha Illallahu. Kebanyakan kaum muslimin memahaminya tidak ada pencipta (tuhan) selain Allah (Tauhid rububiyah). Seandainya pemahaman ini benar, maka orang-orang musyrikin tidak mungkin akan menolaknya dengan ucpan mereka.

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [Shaad/38 : 5]

13. Sebagian besar cendekiawan muslim mengira makna Laa Ilaaha Illallahu adalah tauhid hakimiyah (mengesakan Allah dalam hukum dan undang-undang pemerintahan), Seandainya hal ini benar maka tidak mungkin orang-orang kafir akan menolaknya, karena orang-orang kafir Quraisy dahulu menawarkan harta dan pemerintahan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan balasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dakwah kepada kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallahu. Dan beliau tidak menentang mereka dalam masalah pemerintahan atau harta. Barangsiapa yang mentadabburi Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta sejarah beliau, dia tidak akan ragu lagi bahwa makna Laa Ilaaha Illallahu lebih dari apa yang mereka pahami/sangka. Dia akan mengetahui bahwa artinya adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan menjauhi/meniadakan sesembahan selain Allah. Dan dia juga akan mengerti bahwa Abu Jahal dan selainnya dari kaum musyrikin memahami makna kalimat tauhid ini, karena kalimat tersebut menghancurkan warisan nenek moyang mereka yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan.

14. Sesungguhnya perkara tauhid hakimiyah ini haruslah mencakup segala permasalahan agama dan dunia. Amr ma’ruf nahi mungkar serta dakwah adalah perkara ibadah yang wajib terpenuhi didalamnya dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah). Amal ibadah yang ikhlas karena Allah tetapi tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah akan diterima. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak sesuai dengan sunnahku maka amalan terebut tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]

Para salaf mengatakan. “Bersedang-sedang dalam malaksanakan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh mengerjakan bid’ah”.

Maka dari sini kita meminta mereka untuk berhukum dengan hukum Allah dalam masalah ini (dakwah) dan selainnya. Dalam hal ini kita sendiri (sebagai dai) lebih utama untuk berhukum dengan hukum Allah. Tidak selayaknya kita menyeru manusia untuk mereka berhukum dengan hukum Allah tapi kita sendiri berhukum dengan pemikiran-pemikiran (manusia) dan politik (barat). Jika tidak berhukum dengan Allah (syariat Allah) maka akan gugurlah amal kita meskipun ikhlas karenaNya.

Alhamdulillahi Rabbil Alamin.

[Diterjemahkan dari majalah Al-Asholah edisi 44 (1424H), Penerjemah Abdurrahman Thayyib Lc, Disalin Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi 16 Th III Ramadhan 1426H/Oktober 2005M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya]
_______
Footnote
[1]. Tauhid Uluhiyah adalah keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang berhak diibadahi tidak ada sekutu bagiNya, -pent


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1907-syirik-politik.html